“RELIGION”
For
A Name
“Saudari
Kang Rail, apakah ini asli tulisan yang Anda buat?”
Dosen penguji satu menatapku dingin dengan
nadanya yang membuat nyaliku menciut.
“Iya, Pak.”
“Apakah saudari siap menjawab jujur
pertanyaan saya?”
“Iya, Pak.”
“Baiklah, silahkan buka halaman 3 poin 5!”
Aku langsung membalik halaman skripsiku.
Halaman 3 dari skripsiku itu berisi kata persembahan. Mataku turun menuju poin
5. Astaga! Saliva yang kutelan sulit dan ini...? apa maksud dosen penguji itu?
“Nama siapa yang Anda maksud?”
Aku menelan ludahku susah payah. Kutatap
mata dosen penguju satu dengan tatapan salah tingkah, grogi, dan gemas.
Aih,
bagaimana ini? Kataku dalam
hati.
Kembali, mataku menuju halaman persembahan,
membaca ulang kalimat dari poin kelimaku.
“Teruntuk sebuah nama yang
senantiasa hadir di dalam lantunan bait-bait doaku, terima kasih atas
pengalaman kehidupan yang mengajariku untuk selalu kuat, sabar, dan ikhlas
menerima mubram-Nya. Semoga engkaulah yang ditulis din Lauhul Mahfuzh untuk
menemani hari-hariku hingga menuju Jannah-Nya.”
Begitu tulisku. Dan, orang yang kumaksud
itu adalah ...?
Yah,
tak mungkin aku menjawabnya dengan jujur saat ini. Dosen penguji satu mendehem
seakan menagih jawabanku. Kuhela napasku mencoba menetralisir hatiku. Hati yang
semula berisi kepercayaan diri, kini ludes dan berganti grogi. Aku melirik
sekilas pada dosen penguji tiga yang fokus membaca skripsiku seolah tak
mempedulikan aku yang seperti kena gedam. Ya, pertanyaa dosen penguji satu
memukul telak setiap materi yang kupersiapkan selama ini.
“Apa sya harus menjawabnya dengan jujur, Songsaengnim[guru]? Apa harus
sekarang?”
“Of Course!” balasnya pendek dan membuatku
seakan terhimpit pada sebuah beban. Pemuda itu? Kembali, deheman terdengar. Ada
suara cekikikan yang kudengar. Astagfirullah!
Penguji satu dan dua sudah senyum-senyum menatapku. Dosen penguji empat
menatapku dan tangannya menutupi mulutnya yang kuyakini, ia sudah tersenyum.
Malah, dosen penguji dua sekarang tertawa.
Ya Allah, ini sidang skripsi atau arena
olokan? Kenapa harus mereka yang menanyakan ini? Sementara, kedua orang tuaku
saja tidak tahu siapa orang yang kuharapkan dan kusukai itu. Bahkan, orang yang
kumaksud saja tidk tahu bahwa ia begitu berharga dan penting untukku. Ia malah
hanya menahan senyumnya di hadapanku, seolah tak terjadi apa-apa denganku.
Sial, keringat dingin membasahi hanbok
yang kukenakan. Kupejamkan mata, berharap ada kekuatan yang bisa menopangku
saat ini.
“Kim Ryeowook.” Ucapku lirih. Kitundukkan
kepalaku sejenak dengan helaan napas singkat.
“Maaf, saya tidak mendengarnya,” ucap dosen
penguji empat kepadaku. Aku menelan ludah. Setelah aku bersusah payah menggumam
nama itu, ternyata dia tidak mendengarku. Oh, ini sangat tidak adil!
“Kim Ryeowook.”
“Siapa?” tandas dosen penguji dua semakin
membuat tubuhku serasa dihujani kotoran binatang. Memalukan! Sangat memalukan.
Aku menatapnya tanpa ekspresi, “Kim
Ryeowook.”
“Heh, Anda sedang berbicara atau berbisik?”
tekan dosen penguji satu kepadaku. Apa maksud mereka semua? Apa aku harus
mengulangnya sampai seribu kali agar mereka puas? Seharusnya, pada ujian
skripsiku ini yang ditanyakan adalah materi atau hal-hal yang ada di dalam
skripsiku. Namun, kenapa seperti ini pertanyaannya?
Aish,
Rail bodoh! Kenapa kalimat ini ada dalam skripsimu!
“Kim Ryeowook.”
Aku mengeraskan volume suaraku yang kini
terdengar sudah bergetar karena menahan malu, grogi, dan emosi lainnya.
Sekarang mereka semua tertawa lepas dan ceria, sementara aku? Bisa kalian
bayangkan sendiri bagaimana ekspresiku sekarang! Lelaki yang bernama Kim
Ryeowook itu duduk di hadapanku. Parahnya lagi dia termasuk dosen penguji.
Kulihat, ia hanya tersenyum kecil seraya menatap dosen penguji lainnya.
Ekspresinya itu hanya terlihat mengimbangi saja. Aku benar-benar tak menangkap
bahwa ia merasakan apa yang kurasakan. Hah, kupikir, aku salah menafsirkan
perilakunya selama ini kepadaku.
Padahal, saat ada kegiatan kemahasiswaan,
Kim Ryeowook Songsaengnim-lah yang
selalu mengingatkanku agar menjaga kesehatan lewat SMS-nya. Kadang, saat aku
sibuk mengerjakan laporan pertanggungjawaban setelah event kegiatan, ia tiba-tiba datang membawakan makanan dan
memaksaku untuk memakannya. Begitu pula saat aku mengalami kekecewaan karena
rekan organisasiku, dialah yang menyemangatiku dengan kalimat, “Rail, Allah
ma’ani.”
Sepertinya, aku terlalu percaya diri dengan
keadaanku sebelumnya. Aku terlalu percaya bahwa ia memiliki perasaan yang sama
denganku hingga aku berani menuliskan namanya dalam skripsiku, walau itu memang
hanya tersirat saja. Bodohnya lagi, aku menjawab pertanyaan dosen penguji satu
dengan jujur. Otakku memanas hendak meledak tanpa kutahu bagaimana membuatnya
nyaman lagi.
Ya, pemuda itu hanya duduk dan
membolak-balikkan kertas tanpa mempedulikanku_dengan hatiku.
ooOoo
tubuhku menyandar di tembok dalam waktu
yang cukup lama. Kaki yang kugunakan untum menopang tubuhku terasa lemas, belum
lagi himpitan emosi setelah keluar dari ruangan dingin yang bisa menghancurkan
ubun-ubunku itu. Aku memeluk kuat-kuat tumpukan skripsi yang butuh beberapa
perbaikan. Pertanyaan dosen pembimbing satu tadi masih berdengung-dengung alam
otakku menghantarkan rasa panas dan malu. Oh, jika boleh aku meminta, aku harap
tak ada hari ini, hari dimana aku mengatakan siapa lelaki yang begitu berperan
dalam hidupku.
Aku berjalan gontai menuju pohon maple yang terletak di sebelah selatan
gedung auditorium; tempat ujian skripsi. Kutekuk lututku dan membenamkan
kepalaku di sana, di atas tumpukan skripsi dan lutut. Hah, hari yang kulewati
ini sudah berat dan sekarang bertambah berat. Terutama, jika dikaitkan dengan
beban mental setelah mengucapkan nama ‘Kim Ryeowook’ di hadapan dosen penguji
dan disambut dengan gelak tawa oleh mereka.
“Kau tak pulang, Rail?” sebuah suara bass
menyapaku. Aku sontak menoleh, wajah berwibawa itu menatap teduh kepadaku.
Tubuhku mematung saat menatap pemilik suara lembut itu. Ia tampak tersenyum
manis kepadaku, bibirnya benar-benar tertarik sempurna.
“Belum.”
“Boleh kita bicara sebantar?”
Ia menundukkan pandangannya. Kurasa ia
menghindari bertatapan mata denganku. Kujawab pertanyaannya itu hanya dengan
gumaman singkat.
Ia tampak duduk menekuk lututnya dan
melipat kedua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan seolah menatap
sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh mata fisikku. Ada kebahagiaan—benarkah ?
Apakah ia bahagia bisa membantai mahasiswinya dengan neragam pertanyaannya
sangat detail dalam sidang skripsi tadi?
“Apa benar Kim Ryeowook yang kau tulis itu
aku?” suara lirihnya terdengar berhati-hati. “Maksudku, ada banyak orang yang
bernama seperti itu. Aku hanya memastikannya saja.”
Aku menenggelamkan wajahku lagi di lutut.
Kenapa ia bisa polos seperti itu? Kenapa jiwanya sebagai pemuda tak peka sama
sekali? Apa aku harus mengulang jawabanku tadi? Dia benar-benar polos untuk
ukuran seorang dosen muda yang notabene
banyak digandrungi para mahasiswi.
“Kau marah?”
Kusandarkan kepalaku dibatang pohon maple. Bagaimana bisa aku memiliki dosen
seperti ini? Kuhela napasku pelan.
“Songsaengnim...,”
ucapku berhenti, memilih diksi yang tepat untuk menyampaikan apa yang ada di
dalam pikiranku. “Kadang, aku berpikir kau juga memiliki perasaan yang sama
denganku. Tetapi, mungkin aku salah. Aku terlalu percaya diri dengan semua
kepedulian dan perhatianmu selama ini. Hari ini, aku ikhlas menerima semuanya.
Jika kau keberatan atas nama yang kutulus di alam skripsiku itu—walau
kusamarkam—aku akan memperbaikinya.” Ada kelegaan saat aku berhasil meloloskan
kalimat demi kalimta yang sedari tadi kutahan.
“Memperbaiki seperti apa yang kau maksud?
Bisakah kau memperbaiki hatiku yang sudah terjerat pada rasa kekanakan yang
aneh?”
Aku hanya menoleh sebentar, lalu menunduk
dan menunggunya melanjutkan ucapannya. Helaan napasnya begitu pelan. Kami
sama-sama menatap matahari senja yang lemerah-merahan di ufuk barat. Diam-diam,
aku menangkap makna tersirat di dalam kalimatnya itu. Seutas senyumku
mengembang, lalu kutatap lagi rahang kokohnya. Astagfirullah, rasa apa ini? Kenapa kuumbar mataku untuk menatap keindahan yang belum halal untukku?
“Rail, jika memandangmu bukanlah dosa,
mataku ini akan selalu menujumu. Andaikan rindu itu halal, aku akan
merindukanmu dalam malam-malamku.”
Ia berhenti sejenak, “Sering kali aku
mengetik pesan untukmu san sering kali kuhapus. Kubatalkan niatku untuk tahu
keadaanmu. Andai saja kau tahu betapa sulitnya saat aku berhasil mengirim pesan
untukmu.”
“Songsaengnim.”
“Aku menahan semuanya dan baru kukatakan
saat ini. Aku terlalu oengecut, aku tahu. Inilah baraku menahan nafsuku, inilah
caraku mencintaimu, Kang Rail.”
Dalam sekali waktu, kurasa hatiku
berbulu-bulu karena kebahagiaan menggelitik hingga gelas jiwaku. Kebahagiaan
itu melumer begitu saja, tumpah ruah dalam nadiku, mengalirkan desiran yang
janggal dan dadaku bergetar. Allah, inikah cinta?
Ryeowook tampak berdiri dan melirik
kepadaku, ia tersenyum.
“Aku akan datang ke rumahmu, menyampaikan
pada orang tuamu. Tunggu aku, 7 hari lagi.”
Ia meninggalkanku setelah mengucapkan
salam. Kuraba dadaku lalu melempar tumpukan skripsi yang semula membelengguku.
Kubenamkan wajahku di rerumputan dan bersujud syukur dengan kebahagiaan yang
mengalir hari ini.
“Maha Suci Engkau yang menciptakan
makhluk-Mu berpasang-pasangan,” ucapku lirih.
ooOoo
“Mana dia?” Ayah menatapku dengan pandangan
selidik. Aku hanya menatap pintu utama, berharap pemuda itu beruluk salam dan
menetapi janjinya. Ini sudah pukul 21.00, dia bahkan belum muncul. Sungguh, aku
benar-benar, mulai gelisah.
“Pertemuan pertama saja dia seperti ini.
Apa kau yakin dengannya?” Ibu memulai dengan pertanyaannya yang sensitif. Aku
hanya diam, lalu berjalan menuju teras, menghindari pertanyaan dari orang tuaku
yang tak tahu harus kujawab dengan jawaban apa. Udara berhembus dingin disiul
kilat yang menyambar, suara guruh pun terdengar perlahan. Kulipat tanganku di
dada, mendongakkan wajah ke langit. Tak ada pendarahan cahaya rembulan di sana,
bintang pun tak nampak sama sekali. Kembali, angin berhembus, udara dingin
menusuk hingga tulang sumsumku. Suara guntur bersahutan seakan ikut meluapkan
keresahan yang kualami.
“Kim Songsengnim,
dimana kau?” kubuhungi nomor ponselnya. Masih tersambung seperti tadi, tapi tak
di angkat sama sekali. Oh, ayolah! Tak apa kau tak datang malam ini, namun
angkatlah panggilanku agar aku tak mengkhawatirkanmu. Aku berdecak kesal.
Kembali, kuulangi panggilanku dan hasilnya nihil. Tak di angkat sama sekali.
‘Apa
kau lupa? Apa janjimu kepadaku tak penting untuk kau ingat?’ jeritku dalam
hati.
ooOoo
Aku
mengetuk ruang kerja Ryeowook. Sungguh, jika bukan karena refisi skripsiku, aku
belum berniat bertemu dengan dia lagi. Jangankan aku, dia saja tak menemuiku
sekedar meminta maaf. Dia seperti pemain cinta yang menbolak-balikkan hatiku.
Aku serasa masuk dalam permainan yang ia ciptakan. Ia begitu piawai untuk
membuatku melayang bahagia sekaligus menjatuhkannya ke bumi, sejatuh-jatuhnya.
Bodoh sekali! Seharusnya aku tak boleh berharap lebih kepadanya. Seharusnya,
aku hanya berharap kepada Tuhan. Bukankah itu hal yang sangat mendasar dari
nilai ketuhanan yang kudapat? Letak berharap manusia itu kepada Tuhan, karena
Dia tak pernah mengecewakan hamba-Nya. Ia selalu memberikan yang dibutuhkan,
jauh lebih bermakna dari sekedar yang kita minta.
Kembali kuketuk pintunya.
“Masuk!”
Suaranya yang khas ditelingaku sontak
menyergapku dalam rasa yang aneh seketika.
“Annyeong,”
salamku lalu melangkahkan kaki menuju meja kerjanya. Kakiku terasa berat saja,
grafitasi bumi seolah lebih berat menarik tubuhku. Ryeowook masih tetap menatap
fokus di layar laptop, jarinya tamoak bergerak lincah di atas papan keyboard.
“Silyehamnida[permisi],
Songsaengnim. Saya mau refisi skripsi.”
Ia mendongak, menatapku sejenak sebelum
ponselnya berbunyi dan mengalihkan pembicaraan kami. Ia berbicara dengan
seseorang di telpon. Mimik wajahnya terlihat serius. Aku hany diam memeluk
tumpukan kertas skripsi di dada.
“Tunggu sebentar,” suruhnya lalu
meninggalkanku di ruang kerjanya.
“Duduk saja dulu.” Ia berkata seolah tak
pernah terjadi sesuatu diantara kami. Aku duduk dan meletakkan skripsiku yang
siap dikritisnya. Aku melihat ruangan yang terkesan elegan dan rapi, persis
sekali dengan kepribadiannya. Kutekuk-tekuk jaru tengahku di meja, hingga
mataku sontak berhenti pada sebuah amplop yang menyelip diantara tumpuhkan
mapnya. Sungguh, aku penasaran. Apa mungkin itu surat dari seseorang? Mungkin
itu amat penting. Tetapi, jika surat tu adalah surat pribadi, kenapa ada di
meja kerjanya? Apa itu surat undangan organisasi? Ah—aku penasaan! Tanganku
bergerak untuk meraihnya.
Astagfirullah, ini bukan hakku! Kenapa aku ingin tahu? Kutarik
lagi tanganku yang hampir menyentuh amplop itu. Aku mengerang frustasi saat
sadar bahwa aku penasaran dengan amplop itu. Kuambil serabutan dan membukanya
cepat-cepat. Kop suratnya tertulis Seoul
Hospital Laboratorium.
“Ini surat keterangan hasil Lab,” gumamku
seraya membaca tulisan yang diketik dengan rapi itu. Aku tak begitu paham
dengan tulisan yang tertoreh di kertas itu. Bibirku bergetar, jantungku seraya
melompat dari tempatnya. Apa ini?! Apa maksudnya?
“Positif ...HIV?” aku tergugu dalam dudukku.
Membaca ulang kalimat yang tersusun rapi di sana. Seraya belati, kalimat itu
menghujam ulu hatiku. Sakit! Rasa sakit itu menjejal paksa dalam hatiku.
Lidahku bahkan benar-benar terasa kelu. Ah, rasanya sulit sekali kujabarkan
dalam kata.
Tidak! Ini bohong! Pasti. Mataku beralih
pada nama yang tercantum. Membaca lagi, yang paling menyedihkan adalah yang tak
berubah. KIM RYEOWOOK POSITIF HIV!
“Astagfirullah...”
lidahku berucap istigfar, memohon maaf atas segala opsi-opsi yang terngiang di
otakku. Kulihat tanggal keluarnya surat itu, 31 Januari 2013, tepat sehari
setelah ia berjanji datang ke rumahku. Jadi, ini alasannya ia tak datang?
Maafkan aku sudah berburuk sangka tentangnya selama ini.
Tetapi, kenapa dia bisa mengidap ini? Apa
dia—pemakai narkoba? Free sex? Astagfirullah, aku tak boleh berburuk
sangka kepadanya. Ia orang yang baik, sangat baik. Tak mungkin ia memakai
narkoba dan ikut pergaulan yang diharamkan agama. Tidak, Kim Songsaengnim tidak begitu. Lalu apa?
Derit pintu yang terbuka mengalihkan perhatianku.
Ryeowook masuk dan mencoba tersenyum saat mata kami bertatapan pada satu garis
horizontal. Mataku makin memanas saat melihat senyumnya yang tulus. Cobaan
seberat itu, namun masih mampu tersenyum. Ya! Kim Songsaengnim, hatimu terbuat dari apa?
Ia duduk lalu kebingungan saat melihatku
yang menunduk dan meremas surat keterangan hasil laboratoriumnya. Kutahan air
mataku yang memaksa keluar. Sesungguhnya, ada yang mengganjal di kerongkonganku
saat ini, membuatku sulit untuk menelan ludah.
“Kenapa—kenapa begini?” suara parauku tak
bisa kukendalikan.
“Maaf, maaf jika malam itu aku
mengecewakanmu. Maafkan aku—aku tak berani datang—karena...”
“Karena apa?” potongku cepat seraya
menatapnya nanar.
“Maafkan aku. Ada baiknya jika ini tak usah
dilanjutkan, kau berhak bahagia.”
Bodoh! Aku baru menjumpai orang sebodoh
dia. Dia itu bisa berpikir normal tidak? Kenapa selalu menjadikan dirinya
sebagai orang baik? Menjadikan dia sebagai orang yang menerima apa yang terjadi
dalam hidupnya. Kenapa tidak mencoba berbicara jujur kepadaku? Apa dia suka
jika aku membencinya? Dia suka aku beranggapan buruk tentangnya?
“Bodoh!” kulempar kertas hasil laboratorium
tu di meja. Ia membulatkan matanya yang bening. Shock! Detik berikutnya, kami sama-sama terdiam. Hanya desiran
angin sepoi menerpa kami dalam keheningan. Kami tertunduk dalam pikiran
masing-masing. Hembusan napasnya yang berat kini sedikit terdengar ringan. Aku
kembali mendongak.
“Bantu aku,” ucapnya dengan suara lirih. Ia
menatap kosong ke jandela, melihat sesuatu yang abstrak bagiku.
“Bantu aku memperbaiki diriku sebelum Tuhan
memanggilku.”
Dalam sekali waktu, hatiku remuk redam
mendengar suaranya yang terdengar menerima takdirnya.
“Aku—aku...,” suaraku luruh karena
tenggorokanku terganjal. Kini, aku hanya memandangnya dengan sayu.
“Kekecewaan yang menimpaku 5 tahun lalu
membuatku kehilangan darah. Aku tertolong karena ada orang yang mendonorkan
darahnya. Tanpa kusadari, itulah awal aku mengidap penyakit menjijikkan,
penyakit yang dijauhi manusia.”
“Aku tak meneruskan untuk mengkhitbahmu,
bukan berarti aku tak menyukaimu. Hah, kau tahu, aku mencintaimu—mencintai caramu
yang indah dalam berbuat kebaikan. Aku mencintaimu karena Allah, sehingga
apapun yang kulakukan untukmu adalah usahaku untuk menjagamu.”
“Songsaengnim...”
“Rail, dengar! Kau berhak bahagia dengan
seseorang yang benar-benar bisa mewujudkan doamu—seperti yang kau tulis dalam
skripsimu. Aku hanya memintamu untuk memaafkan aku dan bantulah aku memperbaiki
imanku. Cepat atau lambat, penyakit ini akan menggerogoti tubuh ringkihku.
Jadi, sebelum aku kembalu kepada-Nya, aku ingin menjadi orang yang lebih
bermanfaat untuk orang lain.”
“Songsaengnim,
kenapa Anda begitu kuat?” rintihku diantara suaraku yang tercekat. Ia hanya
tersenyum. Andai ia tahu apa yang kurasakan. Allah, aku juga mencintainya,
tetapi kenapa untuk menyempurnakan separuh agama kami ini begitu sulit? Inikah
cobaan untukku, hamba-Mu yang lemah?
“Mungkin Allah tahu bahwa aku kuat, maka
Dia pun memberiku ujian seperti ini.” Ia tersenyum kepadaku seakan mengalirkan
energi posotif, “Lantas, kenapa malah aku yang tidak percaya pada kemampuanku?
Allah ma’ani. Allah bersamaku, bersama orang-orang yang sabar.”
“Songsaengnim,
bolehkah aku menyentuh tanganmu?”
Ia hanya diam, kupikir itulah tanda bahwa
ia mengizinkanku. Kuraih jemarinya, mambenamkan wajahku di tangannya. Kusesap
aroma kulit yang manis dan sesenggukan di sana.
“Songsaengnim,
semoga Allah mempertemukan kita di surga-Nya.”
0 komentar:
Posting Komentar