Kota
Probolinggo adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur Indonesia. Terletak
sekitar 100 km sebelah tenggara Kota Surabaya, Kota Probolinggo berbatasan
dengan Selat Madura di sebelah utara, serta Kabupaten Probolinggo di sebelah
timur, selatan, dan tengah. Kota ini juga terdapat pelabuhan perikanan yang
cukup besar. Etimologi “Probolinggo” yang ada hubungannya dengan cerita kuno,
yaitu jatuhnya sebuah benda bercahaya (meteor). Tempat jatuhnya benda tersebut
oleh raja-raja dahulu dipilih sebagai tempat untuk mendapatkan perdamaian dan
mengakhiri perselisihan.
Probo dalam
bahasa Sangsekerta berarti sinar, sedangkan Lingga berarti tanda, dalam hal ini
tanda perdamaian. Dapat juga diartikan : asli atau sederhana (seperti perwujudan
seluruh lambang yang sederhana).
Dengan
lambang ini diharapkan jiwa nurani segenap penduduk Kota Probolinggo selalu
mendapat tuntunan cahaya terang sehingga alam pikiran dan perbuatannya selalu ditujukan
pada usaha tercapainya masyarakat adil dan makmur, sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan 17 agurtus 1945. Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara
(Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389), Probolinggo
dikenal dengan nama “Banger”, nama sungai yang mengalir di tengah daerah banger
ini. Banger merupakan penduduk kecil di bawah pemerintahan Akuwu di Sukodomo.
Nama Banger dikenal dibuku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga Kerajaan Majapahit
yang terkenal, yaitu Prapanca.
Sejalan
dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit,
pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama
dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pendukuhan kecil di muara kali Banger,
kemudian berkembang menjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah
Kerajaan Majapahit. Pada saat Bre Wirabumi
(Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara
Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger
menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana
(Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”.
Pada
pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam janjian yang
dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah sebelah timur
Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin
pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai
Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung.
Kabupatennya
terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah Putra Kyai Boen Djolodrijo
(Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung
Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono
dipengruhi, diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger,
keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru
akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya,
terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali
tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayanhnya dalam menentang/melawan
kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhan tersebut, Kyai Djojolelono kemusian
menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun
1768, terus membara/lelono.
Sebagai
pengganti Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra
Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger ke
2. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni, tetaa kompeni,
bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai
Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro.
Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh
masyarakat dianggap sebagai makan keramat.
Dibawah
pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk
tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± tahun 1770). Karena
sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada
tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) di ubah
menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat).
Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud
adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan pasarean
belakang Masjid Jami’.
0 komentar:
Posting Komentar